MADIUN, PEWARTA – Untuk mewujudkan target 0% kumuh diperlukan kolaborasi antara OPD dengan seluruh stake holder dimana Pemkab sebagai nahkodanya. Kolaborasi integrasi mendukung program prioritas nasional, provinsi dan kabupaten dengan sasaran tercapainya target 0% kumuh yakni terciptanya permukiman layak huni, terciptanya kota tanpa kumuh, terciptanya kebiasaan hidup bersih dan sehat, serta terciptanya kualitas lingkungan yang nyaman.
Hal itu disampaikan Dwi Susilowati dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Madiun saat pemaparan Materi strategi kolaborasi dan replikasi program penanganan kumuh di hari kedua lokakarya Program Kotaku Kabupaten Madiun secara virtual, Selasa (30/11/2021).
Selain itu, beragam pembahasan lain juga muncul di hari kedua lokakarya Kotaku Kabupaten Madiun, yakni pembelajaran hasil audit, hingga pembentukan dan pelaksanaan tugas Pokja PKP dan forum PKP.
Dalam materi pembelajaran hasil audit disampaikan oleh Retno dari Dinas Perkim Kabupaten Madiun, dijelaskan bahwa auditor program Kotaku berasal dari tiga unsur lembaga yakni BPK, BPKP dan Inspektorat. BPK melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Sedangkan BPKP pemenuhan kewajiban pemerintah kepada Lender/donor sesuai Loan Agreement/dokumen turunan lainnya. Sementara inspektorat melakukan pengawasan internal untuk peningkatan akuntabilitas keuangan.
“Selain itu juga disampaikan penilain kepatuhan yang terdiri dari 3 macam, dan hasil penilaian kepatuhan tahun 2020 adalah Memadai. Sementara untuk penilaian kinerja tahun 2020 ada 9 indikator penilaian dimana hasil penilaian tahun 2020 pada 9 kabupaten/kota memadai dengan nilai > 80%,” urainya.
Sementara itu, Zainul selaku tenaga ahli kelembagaan OSP Provinsi Jawa Timur menyoroti pentingnya pembentukan dan pelaksanaan tugas Pokja PKP dan forum PKP. Zainul menyampaikan bahwa urgensi pokja PKP di antaranya adalah kelembagaan penyelenggaraan PKP masih belum optimal, belum terpadunya infrastruktur permukiman, lemahnya pengawasan dan pengendalian dalam penyelenggaraan PKP, kurangnya koordinasi penyelenggaraan PKP, minimnya pengembangan dan pemanfaatan teknologi maupun kolaborasi antara pemerintah-akademisi-praktisi-pelaku usaha dalam penyelenggaraan PKP, terbatasnya peran dan pemahaman masyarakat, kurangnya sinkronisasi kebijakan bidang PKP antar jenjang pemerintahan, serta penyelesaian sengketa dan permasalahan di bidang PKP memakan waktu dan berbiaya tinggi.
“Untuk menjawab permasalahan di bidang PKP, terutama permasalahan koordinasi dan penguatan peran stakeholders, diperlukan sebuah lembaga wadah koordinasi, kolaborasi dan komunikasi,” ujar Zainul. (ika/red)