Oleh: Wilson Lalengke
Dalam rangka memastikan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dengan segala tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik itu, maka perlu dibentuk berbagai peraturan perundangan, sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan badan-badan atau lembaga yang diberi tugas dan kewenangan sebagai pengawas, kontrol, dan pemberi saran/masukan. Harapannya, agar setiap unit dan sub-unit penyelenggara pelayanan publik, dapat melaksanakan tugas pelayanan dengan sebaik mungkin.
Dalam konteks itulah, kehadiran lembaga bernama Ombudsman Republik Indonesia amat ensesial dalam sebuah negara, terutama di Negara Republik Indonesia yang sejak awal mengusung demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman dipahami sebagai sebuah lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan penyelenggara negara, termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga swata maupun perorangan yang sebagian maupun seluruhnya dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Sebagai sebuah lembaga pengawasan terhadap semua institusi penyelenggara pelayanan publik yang pembiayaannya menggunakan keuangan negara, maka dapat dimengerti jika tugas dan kewenangan Ombudsman mencakup luasan yang sangat besar, baik dari sisi kawasan kewilayahan, jumlah penduduk, jumlah institusi dan pelaksana pelayanan publik, maupun kerumitan persoalan yang dihadapi. Kondisi faktual rakyat Indonesia dengan pluralistiknya yang sangat beragam dari berbagai segi, seperti dalam hal suku, bahasa, adat-istiadat, agama, dan pandangan politik, menjadikan upaya pemenuhan pelayanan publik yang disediakan oleh penyelenggara negara menjadi lebih sulit dibandingkan dengan negara lain yang relatif rakyatnya homogen.
Hal itu berkonsekwensi kepada tanggung jawab Ombudsman yang cukup berat dengan kompleksitas yang tinggi dan beragam. Kompleksitas ini disadari atau tidak akan ditambah lagi oleh situasi global yang menyediakan ruang bagi masuknya segala informasi dan interaksi dari masyarakat dunia ke dalam bangsa Indonesia. Situasi global itu akan memaksa penyelenggara pelayanan publik untuk menyesuaikan jenis dan standar pelayanan dengan tuntutan warga negara dan penduduk yang bergerak begitu cepat dari masyarakat tradisional kepada masyarakat dunia yang makin moderen dan kompleks.
Banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak terakomodir oleh para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik menjadi indikator bahwa tuntutan standar kualitas pelayanan publik bagi masyarakat secara signifikan bergerak naik dari waktu ke waktu. Secara paralel, tentunya Ombudsman juga harus mengikuti perkembangan tuntutan zaman tersebut, khususnya dalam pengawasan pelaksanaan pelayanan publik dan penanganan pengaduan masyarakat. Ini merupakan tantangan berat bagi Ombudsman dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, setidaknya di periode lima tahun kedepan.
Dua Strategi Utama
Sesuai arahan UU Nomor 37 tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, lembaga ini diberi kewenangan untuk
menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait maladministasi yang terjadi atas diri
atau kelompoknya melalui proses mediasi, konsiliasi, dan penerbitan
rekomendasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam rangka mensukseskan
pelaksanaan tugasnya, Ombudsman perlu melakukan langkah-langkah progresif dan
berorientasi ke masa depan.
Pertama, Ombudsman perlu
menjadi pendamping bagi setiap penyelenggara dan/atau pelaksana pelayanan
publik. Hal ini penting dalam rangka meminimalisir maladministrasi yang akan
terjadi yang secara sengaja atau tidak sengaja oleh para penyelenggara dan
pelaksana pelayanan publik. Langkah preventif dalam menghindari maladminsitrasi
merupakan salah satu strategi yang dapat memberi banyak manfaat, termasuk dari
sisi penghematan anggaran negara/daerah. Melalui pencegahan terjadinya
maladminsitrasi dengan segala bentuk dan variannya, para penyelenggara dan
pelaksana pelayanan publik dapat menjalankan tugasnya dengan sukses. Melalui
pencegahan terjadinya maladminstrasi, penerima manfaat pelayanan juga akan puas
karena telah menerima haknya dengan baik dan maksimal. Anggaran yang tidak
perlu, seperti pembuatan pengaduan, proses laporan pengaduan, dan penyelesaian
pengaduan dapat diminimalisir. Semua pihak juga dapat menghemat waktu dengan
tidak memunculkan masalah di akhir pelaksanaan pelayanan publik yang berujung
pada pembuatan laporan pengaduan yang pasti membutuhkan waktu yang relatif
panjang. Lagi, langkah preventif ini akan menciptakan suasana yang kondusif,
aman, nyaman, bagi semua pihak dalam rentang waktu yang berjalan.
Kedua, penting artinya bagi
Ombudsman untuk membuat silabus dan/atau kurikulum pendidikan pelayanan publik
bagi calon penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik. Dalam program
pendidikan ke-ombudsman-an ini, Ombudsman dapat menggandeng lembaga-lembaga
pendidikan khusus yang menghasilkan lulusan calon penyelenggara dan pelaksana
pelayanan publik. Di antaranya, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dan berbagai lembaga pendidikan yang
diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga Negara. Program pendidikan semacam ini
juga dapat diimplementasikan di semua jenjang pendidikan, baik di lembaga
formal maupun non formal, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
swasta. Melalui program 'Ombudsman Masuk Sekolah’ seperti ini, niscaya kita
dapat berharap untuk menghasilkan kader-kader penyelenggara pelayanan publik
yang baik dan berkualitas di masa mendatang, tidak hanya untuk lima tahun
kedepan, tapi untuk periode selanjutnya.
Tiga Strategi Pendukung
Setelah berjalan lebih kurang
20 tahun, dihitung sejak dibentuknya lembaga Komisi Ombudsman Nasional
berdasarkan Keppres Nomor 44 tahun 2000, secara jujur harus dikatakan bahwa
eksistensi Ombudsman dan kiprahnya di masyarakat masih belum memadai seperti
yang diharapkan. Penulis tidak mengetahui persis terkait kendala yang dihadapi
lembaga Ombudsman selama ini. Padahal, jika dilihat dari jumlah personil dan
perwakilan yang dimiliki di 34 provinsi, selayaknya Ombudsman akan menjadi
tumpuan harapan masyarakat di seluruh Indonesia dalam mendapatkan hak mereka
dilayani dengan baik dan maksimal oleh para penyelenggara dan pelaksana
pelayanan publik. Namun, dari analisis sepintas, berdasarkan informasi dan data
yang penulis dapatkan selama ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat setidaknya 3
(tiga) hal atau langkah strategis yang perlu dilakukan oleh Ombudsman ke depan.
Pertama, eksistensi Ombdusman
dengan segala tugas dan kewenangannya perlu sosialisasi yang lebih masif lagi
di tengah masyarakat. Nama 'Ombudsman' mungkin perlu diterjemahkan dalam frasa
yang lebih familiar di telinga publik, sehingga masyarakat dapat mengakrabkan
diri dengan lembaga negara ini. Penulis mengusulkan pemakaian frasa 'Pengawas
Pelayanan Publik' dalam proses sosialisasi lembaga Ombudsman di tataran
masyarakat menengah ke bawah. Sosialisasi Ombudsman dapat memanfaatkan segala
platform media publik yang tersedia, termasuk media online grassroot, media
sosial, dan jejaring pertemanan yang disediakan oleh teknologi informasi.
Penyediaan konten sosialisasi Ombudsman yang mengikuti tren 'milenial' sesuai
perkembangan zaman saat ini akan menjadi salah satu kunci sukses dalam program
sosialisasi Ombudsman.
Kedua, Ombudsman perlu secara
tersistem dan gradual menyelenggarakan pendidikan dan latihan mediator bagi
para anggota komisioner, staf, karyawan, maupun mitra kerja Ombdusman.
Kemampuan mediasi yang mumpuni hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai
pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman yang memadai di bidang mediasi.
Sebagaimana mediasi menjadi strategi yang diutamakan Ombudsman dalam menyelesaikan
masalah dan pengaduan masyarakat, maka peningkatan profesionalitas seluruh
komponen Ombudsman dan mitra kerjanya di bidang mediasi menjadi amat penting,
bahkan mutlak. Pendidikan dan pelatihan mediator, yang melibatkan para pakar
dan praktisi di bidang mediasi, akan menambah roh lembaga Ombudsman sebagai
sebuah institusi yang tidak hanya menjadi pelindung penerima manfaat pelayanan
publik, tetapi juga menjadi teman bagi semua pihak yang bersengketa atau yang
menghadapi konflik akibat maladmistrasi, yang notabene dapat terjadi bukan oleh
kesengajaan tapi juga akibat kendala situasi, kondisi, fasilitas, dan lain
sebagainya.
Ketiga, Ombudsman perlu
mendorong terbentuknya pengawas pelayanan publik independen dari kalangan
masyarakat. Pengawas Pelayanan Publik yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dapat berfungsi
sebagai mitra kerja Ombudsman dalam berbagai hal, antara lain sebagai lembaga
edukasi ke-ombudsman-an, agen sosialisasi lembaga Ombudsman dengan segala
tugas, fungsi dan kewenangannya, dan sebagai mata-telinga Ombudsman di tengah
masayrakat. Pola kerja yang melibatkan publik, jika dilakukan secara tersistem,
terencana, dan terpimpin dengan baik, akan menghasilkan sebuah pola pelaksanaan
tugas pengawasan yang efisien dan efektif. Lembaga-lembaga pengawasan pelayanan
publik yang berada bersama berbaur dengan masyarakat akan menjadi unsur atau
agen preventif terjadinya maladministrasi oleh para penyelenggara dan pelaksana
pelayan publik.
Pada akhirnya, penerapan
manajemen moderen yang mengusung prinsip Planning, Organizing, Actuating, and
Controlling (POAC) dalam implementasi strategi-strategi di atas harus menjadi
acuan Ombudsman, dan semua pihak terkait. Strategi utama dan strategi pendukung
di atas perlu direncanakan dengan matang. Penyusunan rencana yang lengkap dan
detail perlu dilakukan, bahkan dapat dimulai dengan kajian dan analisis yang
mendalam. Pengorganisasian kegiatan dan manajemen pelaksana menjadi salah satu
hal penting untuk tercapainya tujuan implementasi strategi-strategi ini. Segala
sesuatu yang telah disusun, direncanakan, dan diorganisasikan dengan baik,
hanya akan terwujud melalui pelaksanaan atau implementasinya. Evaluasi program
untuk perbaikan selanjutnya menjadi tahapan terakhir yang penting bagi sebuah
peningkatan dan kemajuan sebuah program. Pada tahap ini, Ombudsman dapat
melihat dan menilai apakah proses pelaksanaan pelayanan publik di masyarakat
oleh penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik mengalami peningkatan atau
tidak.
Kolaborasi dengan berbagai
elemen bangsa tidak dapat dinafikan dalam mencapai suskes pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Ombudsman, termasuk dalam melaksanakan strategi-strategi di
atas. Besaran anggaran yang diperlukan untuk membiayai segala aktivitas lembaga
Ombudsman, baik yang sudah terjadwal sebagai rutinitas selama ini, maupun untuk
penerapan kelima stategi di atas, tentunya juga akan menjadi penentu
keberhasilan Ombudsman. Semoga Ombudsman semakin berdaya dan berjaya dalam
mengawal proses pencapain terwujudnya Tujuan Negara Indonesia.(*)