Oleh: Wilson Lalengke
Pewarta,
Jakarta – Bukan latah. Tetapi faktanya para lulusan Uji
Kompetensi Wartawan (UKW) gagal menunjukkan kompetensinya dalam berkarya
sebagai wartawan. Minimal, mereka masih gagap dalam menjalankan profesinya
sebagai jurnalis. Justru sebaliknya, tak terhitung banyaknya wartawan tanpa
sertifikat UKW yang kinerjanya sangat profesional di berbagai media mainstream,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Banyak sekali contoh lulusan UKW tanpa kompetensi
yang dapat ditemukan dimana-mana. Sebut saja seorang wartawan di Bangka
Belitung bernama Romlan. Romlan adalah pemegang Sertifikat Wartawan Utama yang
dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan ditandatangani oleh
Ketua Dewan Pers. Ia dinyatakan lulus UKW yang diadakan oleh PWI dan Dewan
Pers.
Apa nyana, yang bersangkutan justru menjadi penyebar
berita bohong (hoax). Media yang digunakannya untuk menyebarkan karya hoax,
www.kabarbangka.com, itupun sudah juga terverifikasi Dewan Pers. Hal ini
semestinya tidak hanya menjadi preseden buruk yang memalukan, namun harus
menjadi koreksi total bagi para pemangku kepentingan pers di Indonesia. Program
UKW itu adalah sesuatu yang amat keliru dan harus dihentikan.
Sayang sekali, Kementerian Dalam Negeri RI
(Kemendagri) yang menjadi obyek pemberitaan bohong sang wartawan, yang sedianya
akan menyeret lulusan UKW abal-abal PWI dan Dewan Pers itu ke ranah hukum,
harus berdamai dengan keadaan. Kasus tersebut dinyatakan closed, diduga kuat
demi menjaga marwah Dewan Pers, kaki tangan Pemerintah yang didanai APBN
melalui Kementerian Kominfo. Hasilnya, tautan berita terkait komplain
Kemendagri atas pemberitaan jebolan SMP, Romlan, di Kabarbangka.com raib dari
situs kemendagri.go.id.
Ada juga kasus UKW yang aneh bin ajaib. Seorang
Zurinaldi, peserta UKW di Riau, dinyatakan tidak lulus UKW. Bagaimana mungkin
proses UKW itu dapat dipandang benar dan valid ketika peserta yang
kompetensinya di bidang video editing itu diberikan materi ujian untuk
kompetensi reporter? Zurinaldi ini sudah menjalani profesinya sebagai video
editing di sebuah perusahaan media periklanan di Singapore selama beberapa
tahun sebelum “dipaksa” oleh media Riau Citra Televisi, tempatnya bekerja yang
baru, mengikuti UKW sontoloyo tersebut.
Kembali ke pokok persoalan, mengapa UKW tidak
menjamin kompetensi dalam menjalankan profesi sebagai wartawan? Sama seperti di
dunia pendidikan pada umumnya, kompetensi tidak ditentukan oleh ujian atau tes
kelulusan. Ujian hanya dilakukan untuk mengukur kemampuan kognitif seseorang.
Sementara kompetensi merupakan ranah afektif dan psikomotorik manusia.
Kompetensi hanya dapat diukur menggunakan variabel competency assessment.
Asesmen Kompetensi itu mengacu kepada sistim
pembelajaran yang fokus pada usaha menemukan kendala atau hambatan dan mencari
alternatif pemecahan masalah terhadap kendala kompetensi dan kinerja seseorang.
Asesmen Kompetensi memandang bahwa semua orang sesungguhnya memiliki kompetensi
atau kemampuan atau talenta. Tidak seorangpun yang lahir ke dunia ini tanpa
dibekali talenta oleh Sang Pencipta.
Nah, ketika kompetensi yang dimiliki seorang manusia
tidak mewujud secara maksimal dalam kinerja kesehariannya, maka yang diperlukan
adalah meng-asesmen kompetensi yang bersangkutan. Melalui asesmen kompetensi
dapat dilihat berbagai hambatan yang dialami seseorang dalam menjalankan
misinya, mewujudkan karya terbaiknya. Ketika hambatan-hambatan telah diketahui,
selanjutnya dapat dianalisis dan ditetapkan berbagai alternatif jalan keluar
untuk mengatasi atau menyiasati kendala-kendala itu.
Sebagai unsur yang masuk ranah afektif dan
psikomotorik, maka kompetensi seorang wartawan tidak hanya diukur dari sisi
pengetahuan dan kemampuan menghasilkan karya jurnalistik. Kompetensi
kewartawanan seseorang semestinya dinilai secara kwalitatif dari sisi
karakternya sebagai wartawan. Idealisme kewartawanan yang meliputi: kejujuran,
integritas, semangat pantang berputus asa, kepedulian sosial, dan ketulusan
hati, harus menjadi karakter harga mati bagi seseorang wartawan. Unsur-unsur
inilah yang semestinya di-assesment dalam rangka meningkatkan profesionalitas
setiap wartawan.
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan RI, telah
menghapus Ujian Nasional (UN) dan berbagai bentuk ujian bagi anak didik di
semua jenis dan jenjang pendidikan. Menurutnya, UN dan bermacam ujian itu tidak
menjamin kompetensi seorang lulusan. Nadiem juga dengan tegas menyatakan bahwa
sertifikasi lembaga pendidikan tidak menjamin mutu lembaga penerima
piagam-piagam sertifikasi.
Maka, seharusnya Dewan Pers bersama para
penyelenggara UKW itu memiliki rasa malu untuk tetap memaksakan pelaksanaan UKW
terhadap wartawan. Bukan hanya karena tidak menjamin lulusannya memiliki
kompetensi kewartawanan, tetapi lebih daripada itu, UKW adalah produk ilegal Dewan
Pers bersama organisasi pers kroni-kroninya. UKW adalah program akal-akalan
Dewan Pers tanpa dasar hukum yang jelas. (*)