Erwan Dwi
Wahyunanto (Aktivis PMII)
![]() |
Tulisan
singkat ini sebagai suatu respon terhadap proyek pembangkit listrik tenaga
panas bumi (PLTP) Ngebel yang tak seharusnya dijalankan mengingat begitu
besarnya resiko yang dihasilkan dari megaproyek tersebut. Saya ingin memulai
tulisan tentang megaproyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Ngebel
yang merupakan salah satu program pembangunan nasional di bidang energi ini
dengan menggunakan beberapa asumsi dasar.
Pertama, pembangunan
hakikatnya adalah upaya mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia yang maju,
mandiri, sejahtera, berkeadilan berdasarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Sesuai tujuan yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945 disebutkan bahwa pembangunan nasional adalah: Mencerdaskan kehidupan
bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah
indonesia, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia dan perdamaian abadi.
Di samping nilai-nilai kebangsaan dan otonomi, pembangunan juga memuat
nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip dasar kemanusiaan adalah hubungan yang
sederajat antar manusia yang diisyaratkan oleh kondisi dimana setiap individu
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kedudukannya di masyarakat dan
setiap individu memiliki kedudukan yang sam di hadapan Tuhan.
Dalam
konteks pembangunan, bentuk dari penghargaan terhadap kemanusiaan perlu
dirupakan dalam bentuk pemberian peluang yang sama bagi setiap individu untuk
mendapatkan akses pada upaya-upaya mereka dalam rangka memperoleh kebutuhan
hidupnya, memperoleh rasa aman dan damai, memperoleh rasa saling memiliki serta
memperoleh rasa tentram dalam mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesuai
dengan amanah yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Kedua,alam adalah
kesatuan dari entitas besar yang terdiri dari manusia, binatang, tumbuhan,
benda mati dan keseluruhan sesisi jagad raya yang satu dengan lainnya saling
memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang apabila salah satu diantarnya
mengalami kerusakan maka akan menimbulkan akibat terganggunya pola kesimbangan
alam itu sendiri. Sedangkan manusia sebagai subjek yang paling membutuhkan
keseimbangan alam akan mengalami kerugian terbesar apabila keseimbangan itu
terganggu. Untuk itu agama telah memberikan pengajaran bagi manusia untuk mampu
melaksanakan hablumminal alam dalam rangka menjaga kesimbangan dan menjamin
keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Juga kemudian undang-undang
telah mengatur bahwa segala jenis tindakan yang bertentangan dengan upaya
konservasi atau pelestarian lingkungan hidup adalah bertentangan dengan hukum.
Ketiga, segala jenis
kritik terhadap pembangunan tidak bisa serta merta dimaknai sebagai upaya
penolakan dan anti terhadap pembangunan yang sejatinya merupakan usaha dalam
mencapai kesejahteraan bersama. Kritik pembangunan merupakan satu langkah untuk
memberikan kontrol terhadap segala bentuk pembangunan agar maksud dan tujuan
pembangunan itu sendiri mampu tercapai dengan tidak mengesampingkan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkeadilan, berkemanusiaan serta menjamin
kelestarian alam.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Panas Bumi adalah sumber energi panas
yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama
mineral ikutan dan gas
lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem
Panas Bumi. Dickson &
Fanelli (2004) mendefinisikan panas bumi adalah panas yang terkandung
dalam bumi yang terjadi
akibat fenomena geologi.
Secara umum pemanfaatan panas bumi terdiri atas dua jenis, yaitu
pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung.
Panas bumi telah dimanfaatkan sampai dengan saat ini, baik untuk pemanfaatan langsung maupun
pemanfaatan tidak langsung yaitu untuk pembangkit listrik. Pemanfaatan langsung panas
bumi dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan, antara lain pertanian,
perikanan dan wisata. Pemanfaatan langsung panas bumi temperatur 20 ÂșC
hingga lebih dari 100 ÂșC.
Sesuai perkembangan teknologi saat ini, pemanfaatan langsung panas
bumi ini dapat juga untuk
pembangkit listrik. Air panas yang berasal dari manifestasi panas bumi
dapat digunakan untuk
menghasilkan listrik.
Pertanggal 16 Juni 2011 Gubernur Jawa Timur Soekarwo telah
mengeluarkan surat keputusan nomor : 188/63/KPTS/119.3/2011 tentang pemberian
izin usaha pertambangan panas bumi kepada PT Bakrie Damakarya Energi di daerah
Telaga Ngebel, Kabupaten ponorogo dan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun. Energi
panas bumi yang berada di dua tempat tersebut akan dirubah menjadi energi
lstrik dengan perkiraan daya yang dihasilkan mencapai 165 MW. Menurut data yang
tercantum dalam dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL-UPL) kegiatan ekplorasi panas bumi Ngebel dan Dagangan
disebutkan bahwa durasi waktu pemanfaatan panas bumi kurang lebih sekitar 30
tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.
Selain manfaat positif dari yang dihasilkan berupa listrik,
megaproyek tersebut digadang-gadang merupakan aktualisasi dari perencanaan
nasional yang akan memberi dampak pada percepatan pembangunan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Diperkirakan megaproyek tersebut akan memberi
sentuhan kemajuan yang cukup besar bagi masyarakat di sekitar lokasi dan
meningkatkan pendapatan daerah sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai. Baik di bidang pendidkan, sosial sampai ekonomi. Tetapi benarkah
demikian? Apakah benar megaproyek semacam itu hanya memberi dampak positif
dengan jargon “Ramah Lingkungan”? atau justru terdapat dampak negatif yang
kemudian menuntut kewaspadaan masyarakat?.
Pertama ingin saya sampaikan bahwa proyek pembangkit listrik
tenaga panas bumi saat ini telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di 24
Negara, termasuk Indonesia. Disamping itu fluida panas bumi juga dimanfaatkan
untuk sektor non‐listrik di 72 negara, antara lain untuk pemanasan
ruangan, pemanasan air, pemanasan rumah kaca, pengeringan hasil produk
pertanian, pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas dan lain sebagainya.
Di Indonesia usaha pencarian sumber energi panas bumi pertama kali
dilakukan di daerah Kawah Kamojang pada tahun 1918. Pada tahun 1926 hingga
tahun 1929 lima sumur eksplorasi dibor dimana sampai saat ini salah satu dari
sumur tersebut, yaitu sumur KMJ‐3
masih memproduksikan uap panas kering atau dry steam. Pecahnya perang dunia dan
perang kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan dihentikannya
kegiatan eksplorasi di daerah tersebut.
Kegiatan eksplorasi panas bumi di Indonesia baru dilakukan secara
luas pada tahun 1972. Direktorat Vulkanologi dan Pertamina, dengan bantuan Pemerintah
Perancis dan New Zealand melakukan survey pendahuluan di seluruh wilayah
Indonesia. Dari hasil survey dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 217 prospek
panas bumi, yaitu di sepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian barat Sumatera,
terus ke Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan kemudian membelok ke arah utara
melalui Maluku dan Sulawesi. Survey yang dilakukan selanjutnya telah berhasil
menemukan beberapa daerah prospek baru sehingga jumlahnya meningkat menjadi 256
prospek, yaitu 84 prospek di Sumatera, 76 prospek di Jawa, 51 prospek di
Sulawesi, 21 prospek di Nusa Tenggara, 3 prospek di Irian, 15 prospek di Maluku
dan 5 prospek di Kalimantan.
Soal dampak negatif, sebenarnya bukan menjadi rahasia umum lagi
bahwa proyek PLTP biar dinilai seaman dan seramah apapun tetap saja memberikan
dampak negatif yang tidak bisa dipandang sebelah mata saja. Yang paling
mencolok adalah pengerusakan ekosistem akibat adanya pembukaan lahan. Bayangkan
saja jika satu proyek PLTP bisa memakan kisaran 30.000 Ha2 atau lebih lahan. Padahal hampir bisa dipastikan bahwa
lokasi proyek PLTP rata-rata berada di kawasan pegunungan atau perbukitan yang
fungsi awalnya sebagai kawasan konservasi, perkebunan, pertanian dan hutan yang
memiliki peranan penting dalam keseimbangan ekosistem di sekitar lokasi
tersebut baik dalam jarak pendek, menengah bahkan jauh.
Sedangkan untuk proyek PLTP Ngebel menurut data UKL-UPL akan
dibangun diatas lahan seluas 31.880 Ha. Padahal dalam Perda No. 01 Tahun 2012
Kabupaten Ponorogo menyebutkan bahwa kawasan Telaga Ngebel masuk ke dalam
kawasan lindung yang apabila ditemukan kegiatan di luar dari upaya konservasi
maka sama artinya melakukan pelanggaran terhadap peraturan daerah tersebut.
Tetapi kenyataan di lapangan yang kita temukan sama sekali berbeda, pemerintah
daerah Kabupaten Ponorogo justru memproyeksikan kawasan Ngebel sebagai kawasan
tambang yang selain panas bumi akan diupayakan penambangan emas, air dan pasir
(sudah berjalan) tercantum dalam dokumen RTRW Kabupaten Ponorogo tahun
2012-2032.
Selain terjadinya kerusakan ekosistem terdapat beberapa dampak
negatif lain diantaranya: terjadinya gempa bumi minor (kecil), pencemaran air,
terjadinya amblesan tanah, longsor, adanya limbah B3 (Bahan berbahaya dan
beracun) dan sampai yang terparah munculnya semburan lumpur panas seperti yang
terjadi di PLTP Mataloko. Beberapa kejadian tersebut bukan hanya sebatas wacana
dan kekhawatiran belaka. Tetapi beberapa kasus tersebut sudah pernah terjadi
dibeberapa titik kawasan pengembangan panas bumi baik di dalam maupun di luar
negeri. Sayangnya, terkhusus masyarakat sekitar lokasi panas bumi di Ngebel,
Ponorogo tidak mendapatkan edukasi soal dampak negatif tersebut. Walaupun
sebenarnya PT Bakrie Damakarya Energi punya kewajiban untuk melakukan
sosialisasi yang bukan hanya soal manfaat tapi juga dampak negatif. Akan tetapi
sejauh ini atas pengakuan masyarakat, mereka sama sekali tidak mengetahui
kira-kira dampak buruk apa yang bisa saja terjadi ketika PLTP dibangun.
Sebenarnya kekhawatiran warga ini sempat disampaikan kepada pihak
pengelola dan pemerintah desa sehingga akhirnya kekhawatiran itu mendapatkan
tindak lanjut dari PT untuk mengajak masyarakat melakukan study banding ke PLTP
Kamojang. Dalam study banding ini diikuti oleh beberapa tokoh masyarakat dan
pemerintah desa. Bagi kami study banding ke Kamojang belum cukup untuk
memberikan pengetahuan kepada masyarakat sehingga tidak bisa menjadi bahan
pertimbangan lebih lanjut oleh masyarakat dalam rangka setuju atau tidaknya
dengan adanya pembangunan PLTP Ngebel tersebut. Padahal seharusnya masyarakat
juga ditunjukkan kasus dari dampak negatif proyek PLTP tersebut seperti kasus
yang terjadi di Gunung Slamet, PLTP Mataloko, PLTP Ulumbu yang masih menjadi
polemik karena pasalnya terjadi berbagai kasus dan bencana akibat pembangunan
PLTP. Hal ini penting dilakukan sehingga ketika terjadi hal yang tidak
diinginkan, masyarakat tau apa yang harus dilakukan.
Kembali ke dampak, kasus gempa bumi minor semisal, kasus di Basel,
Swiss memperlihatkan gempa bumi sebagai salah satu akibat dari adnya PLTP. Pada
2006, sumur injeksi untuk keperluan geothermal di Basel dibor dengan kedalaman
mencapai 5 km. Aktivitas fracking dalam
sistem geothermal Basel ini memicu gempa bumi lokal antara 3,4 skala Richter dan
cukup untuk membuat plester bangunan retak-retak. Sebagai bentuk
pertanggungjawaban, maka perusahaan geothermal di Basel GPB (Geo Power Basel),
melalui skema asuransi, harus membayar ganti rugi kepada warga dengan nilai
sekitar 7 juta Dollar AS. Dan karena mendapat protes dari warga yang sangat
keras akhirnya lapangan PLTP ini ditutup.
Dalam kasus di Indonesia, kasus serupa juga pernah terjadi. Dalam
sebuah acara dialog nasional 2 hari (15-16 Oktober 2014) di lereng Gunung
Ciremai, Kuningan, Jawa Barat, Dialog ini adalah forum warga yang tinggal di
lokasi di sekitar area PLTP. Selain warga tuan rumah dari Cigugur, dalam
kesempatan ini juga ada perwakilan dari Lereng Gunung Sumbing di Jawa tengah,
warga dari Kamojang, dan warga dari lereng Gunung Salak, Bogor. Perwakilan
warga lereng Gunung Salak menyatakan bahwa di daerah mereka sudah terjadi
beberapa kali gempa bumi. Warga merasa gempa bumi itu terjadi karena aktivitas geothermal,
namun mereka tidak bisa menjelaskan hubungannya. Sementara untuk PLTP Ngebel
kasus demikian belum muncul dikarenakan proses pengeboran sejauh ini belum
dilakukan.

Longsoran dan amblesan tanah pernah terjadi di geothermal Wairakei,
Selandia Baru. Ekstraksi telah menyebabkan menurunnya tekanan di dalam
formasi batuan sekitar 25 bar. Amblesan yang terjadi yang telah mencapai antara
14,5 m pada 1997, dan diperkirakan masih akan terus berlangsung dengan
kecepatan 200 mm/tahun dengan prediksi akan mencapai 20m lebih pada tahun 2050.
Kasus longsoran juga pernah terjadi di Gunung Slamet, yakni longsoran bukit dan
pegunungan sebagai akibat dari adanya aktivitas PLTP. Sementara di Ngebel
Ponorogo terjadi longsoran-longsoran kecil yang secara perlahan menggerus tanah
milik warga dan tidak menutup kemungkinan ketika proses pengeboran beroprasi
akan terjadi longsoran dan amblesan yang lebih besar.
Kasus munculnya kolam-kolam lumpur panas yang tersebar di beberapa
titik dengan jumlah lebih dari 50 kubangan terjadi di PLTP Mataloko, Indonesia.
Kubangan-kubangan lumpur panas tersebut sangat variatif mulai dari diameter 1m
sampai lebih dari 30m dan semakin kesini semakin membesar. Warga khawatir jika
luapan lumpur panas tersebut kian membesar akan mengancam keselamatan
masyarakat seperti luapan besar Lumpur Lapindo Sidoarjo.
Mengingat bahwa proyek tersebut sangat amatlah mengkhawatirkan
sudah selayaknya masyarakat, pemerintah dan kelompok-kelompok peduli lingkungan
hidup melakukan kajian ulang soal keberlanjutan PLTP Ngebel. Untuk apa ada
pembangunan jika ternyata akan mengancam keselamatan manusia. Belum lagi
banyaknya mafia tambang yang seringkali ditemukan dalam banyak proyek
pertambangan yang hanya berusaha menguntungkan dirinya sendiri dengan tidak
memperdulikan keselamatan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Menambah daftar
hitam kelam kasus pertambangan. Melalui tulisan singkat ini kami mengajak
seluruh elmen masyarakat yang peduli terhadap kondisi alam di Ngebel Ponorogo
dan Dagangan Madiun untuk turut melakukan pengkajian ulang terhadap proyek PLTP
tersebut. Agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga untuk keberlangsungan
anak cucu.
*Diambil dari berbagai sumber