Pelaksanaan
pemilu telah usai, tinggal menunggu hasil real penghitungan dari KPU, namun euforia
soal pemilu masih sangat terasa di masyarakat. Mulai dari petani, pedagang,
kuli bangunan sampai dengan birokrat kelas tinggi hampir semua tidak terlepas
dari percakapan-percakapan soal pemilu yang beru saja terlaksana. Ada hal yang
menarik selain perdebatan yang soal visi misi masing-masing pasangan calon.
Pemilu kali sungguh menjadi perhatian negara-negara luar, diklaim sebagai pesta
demokrasi terbesar sepanjang sejarah yang terlaksana dengan damai, lancar dan
aman. Tentu hal tersebut menjadi nilai plus tersendiri bagi Indonesia dimata
dunia internasional.
Juga
kemudian antusiasme masyarakat yang begitu tinggi untuk mengikuti pelaksanaan
pemilu kali ini menandakan bahwa kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi di
agenda lima tahunan tersebut kian meningkat. Partisipasi yang tinggi dari
masyarakat inilah menjadi salah satu sebab pemilu yang dilaksanakan tersebut
dapat berjalan dengan damai, lancar dan aman. Tentu ketertiban tersebut terjadi
juga atas peran serta petugas keamanan yang cukup sigap dalam mengawal pemilu
kali ini. Maka tak salah jika apresiasi setinggi-tingginya kita berikan kepada
segenap lapisan masyarakat dan petugas keamanan yang telah turut menjaga
kondusifitas pemilu kali ini.
Termasuk
apresiasi yang besar kita berikan kepada petugas pelaksana pemilu dan pengawas
disetiap jajarannya yang tanpa lelah menjalankan tugas negara dengan gigih dan
luar biasa. Bisa kita bayangkan begitu melelahkannya tugas dan tanggung jawab
mereka yang berminggu-minggu, berbulan-bulan bekerja mempersiapkan segala
perangkat pemilu sampai terselenggaranya pemilu tersebut. Sampai dibeberapa
titik diantara mereka ada yang meregang nyawa dalam bertugas karena memang
begitu menguras energi pemilu kali ini. Sungguh tidak etis jika kemudian kita
seolah menyudutkan mereka dengan berbagai macam tuduhan seperti mereka tidak
bertanggung jawab, mereka ceroboh, lebih-lebih membangun narasi bahwa mereka
curang dan lain sebagainya.
Terlepas
daripada itu, tentu pelaksanaan pemilu tahun ini pada khususnya dan pada
umumnya pemilihan-pemilihan di Indonesia masih banyak hal yang menjadi bahan
kritik dan evaluasi kita bersama. Evaluasi dan kritik yang kita berikan semata
hanya dalam rangka pelaksanaan pemilu yang lebih baik untuk masa yang akan
mendatang dan bukan untuk menjatuhkan siapapun atau pihak manapun. Sebelum itu
perlu diketahui dalam hal ini posisi penulis dalam posisi sebagai masyarakat
biasa dan tanpa tendensi kepada siapapun.
Secara
prinsipil hanya ada dua hal penting sorotan mengenai pemilu tahun ini yang kami
coba sampaikan dalam tulisan singkat ini. Yang pertama adalah masih banyaknya
model politik transaksional kita jumpai di tengah masyarakat yang dilakukan
oleh para calon peserta pemilu. Yang kedua mengenai teknis pelaksanaan pemilu
itu sendiri mulai dari durasi waktu yang cukup panjang hingga berlarut-larut
hingga properti pemilu yang rawan untuk dimanipulasi data perolehan suara antar
calon oleh pihak-pihak yang ingin menang.
Soal
politik uang atau politik transaksional, kita semua tahu bahwa politik
transaksional ini memang menjadi persoalan akut yang tengah terjadi di
masyarakat sajak lama yang hingga saat ini masih belum dapat teratasi dan masih
menjadi bahan perdebatan. Bahwa fakta di lapangan menyatakan politik
transaksional ini masih sangat menjamur di masyarakat. Para kontestan juga tak
segan-segan merogoh kocek hingga ratusan juta bahkan miliyaran rupiah untuk
memperoleh suara yang diinginkan. Beberapa masyarakat pernah bercerita kepada
kami bahwa mereka pernah mendapatkan uang kisaran Rp. 30.000 hingga Rp. 150.000
dari calon legislatif yang maju dalam kontestasi pemilu tahun ini.
Termasuk
juga ditemukan beberapa calon yang menjanjikan untuk membelikan ini itu seperti
terop, lampu dan lain sebagainya untuk masyarakat jika mereka berkenan
memilihnya dalam pemilu. Biasanya hal ini terjadi di dalam sebuah komunitas
atau kelompok masyarakat seperti kelompok tani, jamaah ibu-ibu yasinan dan
lain-lain. Karena memang rasa solidaritas dan soliditas masyarakat kita begitu
tinggi maka jika ada salah satu dari anggota komunitas yang tidak mengikuti
kelompoknya ia khawatir menjadi bahan gunjingan dan diasingkan dari
komunitasnya tersebut.
Tentu
hal ini cukup memprihatinkan kita semuanya mengingat bahwa politik uang menjadi
hal yang bertentangan dengan undang-undang namun di tengah masyarakat masih
kita jumpai fakta adanya politik uang atau politik transaksional tersebut.
Memang dalam undang-undang menyatakan bahwa pemberian uang kepada masyarakat
dilegalkan. Akan tetapi untuk nominal yang diberikan hanya dibatasi sebesar Rp.
25. 000 saja. Pemberian uang tersebut diperuntukkan sebagai ongkos untuk para
pemilih. Jika kemudian fakta dilapangan masih banyak ditemukan pemberian uang
melebihi nominal tersebut ini artinya telah bertentangan secara konstitusional.
Dalam
hal ini peran pengawas beserta pemantau harus semakin jeli melihat persoalan di
masyarakat untuk memotong mata rantai politik transaksional tersebut. Tidak
ketinggalan peran penting juga membebani partai-partai politik untuk bisa
melakukan kaderisasi yang masif dan terukur kepada para anggota dan kadernya
agar mereka tidak kemudian menjadi pelaku politik transaksional. Selebihnya
partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan berani melaporkan kepada pihak yang
berwenang juga sangat penting dilakukan. Dus, dengan ini politik transaksioanl
dapat segera diminimalisir.
Berikutnya
soal teknis pelaksanaan pemilu. Yang pertama soal durasi waktu yang cukup
panjang dan pembatasan waktu yang tak berperikemanusiaan. Betapa tidak, mulai
dari tahaap pencoblosan hingga muncul hasilnya berupa C1 katakanlah hanya di
batasi dalam jangka waktu tak lebih dari 20 jam. Padahal dalam pemilu kali ini
ada banyak surat suara yang digunakan mulai dari pencoblosan hingga
penghitungan belum lagi ditambah salinan-salinan lainnya dengan jumlah yang
tidak sedikit pula. hal itu tentu tidak mungkin dapat diselesaikan dengan
singkat. Akibatnya banyak petugas yang harus menforsir tenaganya untuk tugas
berat ini. Di beberapa daerah bahkan ada yang meninggal akibat kelelahan dalam
bertugas. Mungkin ke depan harus ada kebijakan untuk tugas seperti ini bisa
dilakukan dengan cara sift untuk meringankan tugas pelaksana pemilu.
Berikutnya
soal properti yang digunakan masih berupa kertas dangan metode pencoblosan.
Problem kertas dan metode pencoblosan biasanya lebih mudah untuk dimanipulasi
oleh mereka yang punya kepentingan, mafia-mafia suara untuk mendapatkan
keuntungan hak suara. Mereka para mafia suara bisa saja berkonspirasi dengan
pihak-pihak pelaksana yang memang bisa saja berkaki dua untuk memenangkan
calon. Kami kira sudah banyak kasus surat suara tercoblos sebelum pelaksanaan
atau data hasil penghitungan yang acapkali berbeda dengan sebelumnya. Walhasil
properti kertas dengan metode pencoblosan sangat rawan untuk dicurangi. Selain
itu sifat kertas yang mudah rusak juga menjadi persoalan tersendiri.
Kami
kira ke depan bisa dikembangkang teknis penyelenggaraan pemilu ini menggunakan
E-Surat suara atau surat suara elektronik. Tidak perlu mencoblos bisa tinggal
menyentuh layar maka data kita bisa langsung masuk server pusat. Ini artinya
akan lebih memberikan efisiensi waktu dan memperkecil gerak kecurangan oleh
mafia-mafia suara. Memang hal ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tetapi bukan tidak mungkin ini bisa dilakukan. Mengingat persoalan kecurangan
juga semakin beragam dan tekhnologi yang semakin canggih tentu hal tersebut
tidaklah sulit.
Kami
berharap kedepan perbaikan-perbaikan bisa dilakukan dalam pelaksanaan agenda
lima tahunan sperti ini. Yang itu bukan hanya sebatas retorika semata tetapi
benar-benar dilakukan. Tentu kita semua sebagai warga negara mengharapkan
pelaksanaan pesta demokrasi bisa terlaksana dengan jujur dan adil sehingga
berimplikasi pada sehatnya proses demokrasi di Indonesia.
Ponorogo,
22 April 2019
Erwan
Dwi Wahyunanto, Ketua Umum PMII Ponorogo.