![]() |
Erwan Dwi Wahyunanto-Ketua Umum PMII Cabang Ponorogo
|
Berpolitik dan berdemokrasi dalam negeri yang merdeka dan demokrasi
tidaklah dilarang. Seluruh warga negara mulai dari pejabat kelas langit sampai orang-orang
dikolong jembatan, masyarakat di tengah hutan belantara papua sana, semua
memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Inilah yang
dimaksud dengan kedaulatan demokrasi politik.
Negara hadir melalui peraturan yang dibuatnya telah menjamin
hak-hak tersebut. Tanpa ada pengecualian apapun. Semua lapisan masyarakat
memiliki hak yang sama. Tidak ada yang di spesialkan oleh aturan negara. Tidak
ada keistimewaan untuk golongan ini ataupun itu. Tidak ada pengecualian antara
kelompok ini dan itu. Ya, semua sama.
Yang tidak pas atau tidak benar adalah, menjadikan agama
sebagai alat politik kekuasaan. Seperti yang sedang terjadi waktu terakhir ini.
Muncul kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok umat islam. Yang menjadikan
agama sebagai kendaraan untuk menggapai nafsu dan hasrat politiknya. Yang menjadikan
islam sebagai bungkus dari ambisi kekuasaan. Serta merta mereka juga menganggap
apa yang dilakukannya itu merupakan missi persatuan islam.
Walhasil, hal yang demikian itu berujung pada klaim
pembenaran bahwa kelompoknya sajalah yang pantas disebut mewakili umat islam
keseluruhan. Dan menafikkan kemerdekaan serta pendapat kelompok yang lainnya.
Padahal dalam pesta demokrasi yang mendatang calon presiden dan
wakil presiden adalah sesama muslim. Para simpatisan dan pendukungnya pun
sebagian besar juga umat islam. Sebenarnya kalau kita memahami dengan teliti.
Siapapun calon yang terpilih nanti. Toh ia pun juga akan tetap tunduk dan taat
pada aturan dan konsensus bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sesuai dengan apa yang ada dalam dasar negara. Pancasila dan Undang-Undang Dasar.
Sementara klaim bahwa kelompoknya dan golongannya sendiri
yang layak dan pantas mewakili umat islam. Sedangkan kelompok yang lainnya
mereka anggap sebagai lawan yang harus dikalahkan. Dengan dasar dalil ayat yang
mereka bawa sebagai pembenar sikap tersebut. Bukankah hal tersebut adalah sikap
ceroboh dan arogan sekaligus pembodohan kepada umat terhadap proses demokrasi
dan politik itu sendiri?.
Sikap dari kelompok yang yang mengaku mewakili sekian juta
umat di negeri ini bukannya membawa eratnya persatuan dan kesatuan dalam Nation
state dan keberagamaan. Tetapi justru mengoyak dan menghancurkan persatuan itu
sendiri.
Bukankah yang semestinya dianggap sama kemudian dianggap
berlawanan karena berbeda pilihan dan pandangan dalam berdemokrasi dan
berpolitik itu halnya dengan perongrongan dan pemecahbelahan umat islam
khususnya dan umat beragama pada umumnya?.
Lalu saya mempertanyakan ulang. Dimana letak menyatukan
umatnya?. Seperti yang mereka gembar-gemborkan selama ini. Dimana letak mereka
mengejawantahkan kesamaan hak seluruh warga negara dalam proses demokrasi dan
politik?. Sudahkah upaya persatuan dan kesatuan umat yang dikatakan sudah
dilakukan tanpa kemudian merampas hak yang lainnya? Atau semua itu hanya
retorika yang membumbung tinggi ke langit tanpa di ketahui pangkal ujungnya?.
Entahlah, yang jelas hal demikian itu bukan merupakan sikap
yang cerdas dari kelompok yang mengatasnamakan dirinya kelompok umat beragama.
Kalau boleh saya katakan disini, sikap demikian itu tidak ada representasi
agamanya. Menjual agama sebagai bungkus pembenar setiap tindakan dan hasrat
politiknya adalah kelewat batas.
Erwan Dwi Wahyunanto-Ketua Umum PMII Cabang Ponorogo
Ponorogo, Jum'at 07 Desember 2018.