![]() |
Tugu Kartonyono Ngawi |
Ngawi, Pewarta - Pembangunan Tugu Kartonyono yang dibangun oleh PT Asimuru
dibawah leading sektor Dinas Pekerjaaan Umum dan Perumahan Rakyat
(DPUPR) Ngawi bisa dibilang sudah kelar awal November 2018 ini.
Namun, wujud Tugu Kartonyono yang menelan budget Rp 3,1 miliar dari APBD
Ngawi 2018 tersebut mulai menuai pertanyaan utamanya di kalangan
netizen Ngawi.
Di media sosial, masalah ini mulai menjadi tranding topic di kalangan warganet.
Banyak yang mempertanyakan mengapa bentuk tugu yang dibangun di
tengah-tengah kota Ngawi dan digadang-gadang menjadi ikon bumi Orek-orek
itu tak seperti rancangan sebelumnya.
Menanggapi hal itu, PPK DPUPR Ngawi Teguh Suprayitna menjelaskan,
pembangunan Tugu Kartonyono mendasar pada perencanaan yang dibuat tahun
2017 melalui sayembara desain prototype Tugu Kartonyono.
Pada sekitar Agustus 2017, dari 26 desain gambar yang masuk, desain
milik Triyono keluar sebagai pemenang sayembara berdasarkan penilaian
lima orang dewan juri.
Kemudian, untuk menjaga azas keterbukaan dan dikenal serta melibatkan
masyarakat Ngawi, maka dilakukan sosialisasi di media massa maupun
langsung ke masyarakat pada saat kegiatan 17 Agustus 2017.
Pun, dilakukan poling melalui pesan singkat (SMS-red). Karena jika hanya
mendasar penilaian dewan juri saja, hal itu dinilai tidak logis.
“Saat itu kalau hanya mendasar penilain lima dewan juri juga kurang pas.
Maka seperti dalam audisi itu kita lempar ke masyarakat langsung
melalui sistem poling sms,” terang Teguh Suprayitna, Sabtu,
(03/11/2018).
Dari poling tersebut, lanjut Teguh, desain prototype milik Triyono
memperoleh skor sekitar 600 berbanding 200 an. Maka atas dasar inilah
yang dipakai untuk membangun Tugu Kartonyono sesuai desain prototype
milik Triyono bukan yang lain.
Akan tetapi terkait desain itu pun harus tetap menyesuaikan dan
dianalisis lagi dengan detail engineering design (DED). Kemudian, dari
DED itu muncul beberapa pertimbangan dan masukan dari tokoh masyarakat
Ngawi terkait dengan isi desain prototype versi Triyono.
Desain gambar miliknya Triyono tidak semuanya bisa diakomodir dalam
perencanaan salah satunya terkait ikon manusia purba sebagai latar
belakang dari gading gajah.
Karena sesuai analoginya sebagian masyarakat beropini bahwa manusia
purba jelas telanjang bulat. Dilihat dari norma dan adat ketimuran
apabila tetap dipasang ikon manusia purba dengan keadaan telanjang bulat
maka kurang etis.
Akhirnya, agar tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat Ngawi yang
notabene beragama Islam, maka ikon manusia purba dihilangkan.
Meski begitu, tambah Teguh, ikon manusia purba pada desain prototype
versi Triyono tetap dimasukan tanpa meninggalkan nuansa purba yakni
berupa gading gajah dan sejarah tentang Ngawi.
Gading gajah menjuntai ke atas sesuai filosofinya sebagai simbol rasa
syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan melambangkan visi Kabupaten
Ngawi yakni Sejahtera, Berakhlak, Berbasis Pedesaan Sebagai Barometer
Jawa Timur.
“Jadi, keberadaan Tugu Kartonyono sekarang ini berupa gading gajah
menjuntai keatas berbahan stainless dan meninggalkan ikon manusia
purbanya itu. Semalam pukul 00.00 WIB sudah diserahkan dari pihak
rekanan. Dan barang tentu akan saya tindaklanjuti dan saya laporkan ke
tim PHO untuk proses selanjutnya,” pungkasnya. (ant/red)